1 Minggu lalu.

Purwokerto, 3 Desember 2018.

.

Waktu terasa semakin berlalu.

Tinggalkan cerita tentang kita.

Akan tiada lagi kini tawamu.

Tuk hapuskan semua sepi di hati

.

Eits, kok nyanyi? Nggak papa kok, saya juga suka dengan lirik lagu tersebut. Salah satu lagu yang saya suka, saya penyuka lagu-lagu lawan daripada lagu milenial sekarang ini. Kali ini saya mau share dan menulis apa yang berkesan selama 1 minggu lalu. Yes, ini content baru pada blog saya. Namanya blog pribadi bebas dong mau menulis apa kan? Mau ada yang baca syukur, kalo nggak ada yang baca ya gak masalah di skip aja. Itung-itung untuk cerita kelak ke anak cucu. Hahahah. Oh, iya nantinya berisi maksimal 10 hal yang paling berkesan buat saya selama 1 minggu ya. Okey, let’s do it!.

Pertama, minggu lalu saya akhirnya menemani beli hp buat ibu tiri saya, alasannya simple karena ibu tiri saya itu sudah terlalu sering ngeluh kalo hp-nya lemot dan jelek kalo buat video call. Alasannya classic katanya biar gampang kalo nelfon anak-anak ayah (itu artinya saya dan kakak” saya). Tapi padahal sampai detik ini belum pernah itu hp buat nelfon anaknya. Lebih sering nelfon keluarganya sendiri. Shit!, I really hate that!. Disini saya belajar bahwa perempuan itu terkadang menyebalkan. Apa yang dibilang dan dilakukan kebanyakan berbeda. Mungkin itulah sebabnya yang jadi imam dan pemimpin itu laki-laki. Perempuan itu akalnya setengah dan terbuat dari tulang rusuk paling atas yang notabene paling bengkok makanya perempuan itu sulit diatur dan mlenca-mlence. Semoga kelak istri saya tidak seperti itu, seandainya seperti ya setidaknya mudah diingatkan.

Kedua, akhirnya kakak saya resmi menikah dengan orang jogja, namanya Muhammad anas, kakak tingkatnya di SMA dulu. Pertama kalinya kakak bipolarnya kambuh bersama suami juga. Yang buat jantung deg-deg ser gimana gitu. Secara tiba-tiba bangun tidur pagi-pagi di chat dan di telpon dimintai klarifikasi “emang aku udah nikah po?”, “sama mas anas?”, “buktinya apa?”. Tapi untungnya bisa jawab semua dan kebetulan buku nikahnya masih di pegang aku, jadi bisa aku jelaskan saat itu.

Ketiga, saya merasa ayah sudah mulai berubah menjadi sedikit banyak kekanak-kanakan. Mulai gampang tersinggung, pemikir, sering sakit, manja, dkk. Mungkin juga karena factor usia yang memang sudah tidak muda lagi. Ayah tahun depan pensiun, ini juga yang sedikit banyak membuat saya deg-deg’an tiap hari. Semoga ayah diberi umur panjang. I hope saya lebih sabar lagi kelak merawat ayah saya.

Keempat, kakak pertama gampang tersinggungan sekarang, mungkin karena faktor lagi hamil. Semoga besok setelah lahir udah nggak tersinggungan. Dan itu artinya sebentar lagi keponakan saya akan bertambah satu. Oh yess!!! Banyak budak-budak yang bisa diberdayakan kelak (bercanda).

Kelima, dia mulai berubah. Berubah disini siklusnya selalu sama dan saya sudah mulai hafal. Ada yang lain, sedih tapi itulah kenyataan. Dulu saya pernah berdoa, “jika memang bukan dia jodoh saya, tolong pisahkan dengan cara yang baik-baik”. And saya berfikir, mungkin ini jawaban atas doa saya. Dia menjauh tapi pasti dengan cara diam. Tinggal tunggu tanggalnya aja sampai menghilang dan saya sudah mulai siap dengan itu, walaupun saya membencinya. Saya paling benci dengan sebuah perpisahan. Apapun itu bentuknya, entah tiba-tiba menghilang, meninggal, atau apapun itu. Walaupun ironisnya sering bertolak belakang, disatu sisi saya sangat suka dengan sebuah pertemuan. Saya mulai berfikir mungkin ini momentum saya untuk berubah, memperbaiki diri, dan kembali pada jalur yang tepat. Bismillah, Hijrah!!!.

Keenam, saya mulai jenuh dengan kegabutan ini dan berfikir saatnya benar-benar serius mencari pekerjaan dan mengejar cita-cita dan mimpi saya selama ini. Sudah cukup istirahatnya!. Bismillah,  dengan izin Allah Swedia saya datang!. Dengan izin Allah Eropa I will be there as soon as possible!.

Ketujuh, saya mulai mendapatkan mood untuk menulis lagi dan berkarya. Alhamdulillah. Mulai sekarang blog akan banyak tulisan-tulisan!.

Kedelapan, ayah mulai banyak curhat tentang masa lalunya. Saya makin banyak sharing tentang hidup dengan ayah. Dan disana saya semakin sadar bahwa masih banyak yang harus disiapkan untuk menjadi orang tua yang bijak kelak. Sabar terutama. Kata orang-orang terdekat saya, saya termasuk orang yang sabar. Padahal saya pribadi tidak merasakan itu. Atau mungkin standar dan skala sabar kita beda frekuensi?

-End, 22.41-